Senin, 15 Juni 2009

PENYEBARAN DHAMMA

AGAMA DAN DHAMMA DALAM

KEHIDUPAN

  1. PENGERTIAN

Agama adalah sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan dan dewa/guru dengan ajaran kewajiban-kewajiban serta kebaktian yang bertalian dengan keyakinan (KBBI, 1999:10). Artinya agama sebagai sistem dan prinsip dalam mengakui kebenaran terhadap Tuhan dan dewa/guru dengan menjalankan kewajiban kebaktian, untuk mengerti, memahami serta mengetahui kebenaran-Nya. Pengertian agama di atas merupakan pemahaman yang mendasar dalam masyarakat dan memberikan keyakinan kuat terhadap agama.

Banyaknya pemahaman dan pengertaian yang berkembang mengenai agama dalam masyarakat bukan sebuah pilihan atau kebenaran mutlak. Karena hanya pengantar untuk memahami praktek dalam mejalankan kehidupan. Tetapi, pemahaman dan pengertian yang “bijaksana” dalam mengartikan sebuah kata yaitu “agama” mempunyai dampak besar dalam kehidupan. Kepercayaan dan keyakinan tidak cukup untuk mencapai kehidupan yang bahagian. Karena kepercayaan dan keyakian tanpa didasari pemahaman yang bijak cenderung membentuk “kepercayaan dan keyakinan yang membuta”.

Kepercayaan dan keyakinan yang membuta bertentangan dengan semangat dalam praktek Dhamma. Menggantungkan diri pada do’a, memohon kekuatan eksternal dan takhayul yang bertentangan dengan cara hidup dalam praktek Dhamma. Pentingnya memiliki kepercayaan dan keyakinan yang tidak membuta adalah untuk menganalisa agama dan diterapkan dalam kehidupan nyata.

Dalam perspektif Budhis kepercayaan dan kebaktian tidak cukup dijadikan salah satu prasyarat kriteria agama, karena yang terpenting adalah praktek nilai-nilai moral dalam kehidupan. Buddha mengatakan bahwa terdapat nilai di dalam perbuatan (kamma); pengorbanan dan persembahan; terdapat akibat (vipaka) dari perbuatan baik atau buruk; terdapat dunia sekarang berarti ada dunia setelah kematian; terdapat kewajiban moral seperti berbakti kepada orang tua; terdapat guru yang telah mempratekkan, mencapai tujuan dari ajaran, membabarkan pemahaman mengenai hakekat dunia sekarang dan dunia seberang (M.iii.72).

Buddhis mengartikan “ägama” dari bahasa päli berasal dari kata ä-gam-a. Gam artinya “pergi” karena mendapat awalan ä maka diartikan “kebalikan dari pergi” yaitu “datang”. Akhiran a dibelakang membentuk akar kata gam menjadi ä-gam-a. Jadi “ägama” diartikan sebagai datang, kanon Budhis, aturan, disiplin dan latihan dalam menjalankan kehidupan (Supandi, 2001:169-194). Maksudnya manusia datang mendekat, menemui, mempelajari sumber (kitab suci) dari doktrin ajaran sebagai peraturan disiplin dan pengetahuan dalam menjalankan kehidupan. Karena bukan dengan kepercayaan dan keyakinan untuk mempraktekan ajaran ägama. Tetapi, dengan datang, melihat, mempraktekan, membuktikan dan merasakan manfaat dalam kehidupan (ehipasiko) (A.i.156-158). Dengan cara demikian manusia dapat melihat dan merasakan manfaat dari praktek ajaran agama.

Kehidupan masyarakat Buddhis dibangun sepenuhnya atas dasar keyakinan kepada Buddha, Dhamma dan Sańgha. Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna dengan kekuatan-Nya, guru pembimbing dewa dan manusia, Dhamma sebagai Jalan pembebasan dan Ariya-Sańgha adalah empat pasang mahkluk suci (Sotapatti, Sakadagami, Anagami dan Arahat) (M.i.37). Demikian pencapaian Pembebasan yang dibuktikan melalui praktik dan pengalaman.

Buddha tidak mengajarkan keyakinan yang membuta atau mengharapkan siswa-Nya mempraktekkan Dhamma hanya dikarenakan rasa hormatnya terhadap guru. Namun, mengenal, memahami dan mengerti Dhamma yang telah diajarkan (M.i.38). Buddha mengemukakan fakta kehidupan, menganjurkan siswa-Nya untuk menolak pandangan yang tidak sesuai dengan kebenaran; tidak mengharapkan mempunyai keyakinan membuta; mengusahakan dengan upaya yang diperlukan dan membebaskan diri dari alam penderitaan (samsara) dengan penuh kesadaran. Manusia sendiri yang harus berusaha, Tathāgata hanya menunjukan Jalan (Dhp.279). Manusia berjuang dan bangkit dengan kesadaran Dhamma untuk melepaskan diri dari pasukan raja kematian (S.i.156). Untuk pertama kalinya dalam sejarah dunia, Buddha mengajarkan bahwa kesucian dan pembebasan seharusnya tidak tergantung kepada manusia atau dewa yang dikatakan sebagai guru serta juru selamat.

Pemikiran mengenai makhluk yang meningkatkan kehidupan manusia dari bawah menuju tingkat tertinggi dan menyelamatkannya, cenderung membuat manusia menjadi malas, lemah dan bodoh. Buddha mendesak pengikut-Nya untuk percaya pada diri sendiri karena pembebasan dari penderitaan dicapai melalui usaha sendiri.

Buddha tidak hanya menyadari realitas tertinggi tetapi membabarkan pengetahuan-Nya yang merupakan ajaran tunggal kepada dewa dan manusia secara jelas untuk memberikan bentuk pemahaman bahwa ajaran Buddha tampil sebagai ägama positif yang dapat dibuktikan semua makhluk (Dhammananda, 2003:48). Dengan ajaran tertinggi yang menghasilkan pengetahuan bagi pengikut-Nya dapat menjadikan pengikut Buddha bebas dari kepercayaan membuta dan tidak menjadikan penghambat dalam memahami kebenaran.

  1. AGAMA DAN DHAMMA

Budhis melihat agama tidak hanya sebagai kepercayaan atau keyakinan yang merupakan prinsip dalam menjalankan kewajiban dan kebaktian. Tetapi, sebagai doktrin, ajaran, peraturan disiplin dan pengetahuan (Dhamma dan Vinaya) dinamakan Buddha-sasana atau Buddha-Dhamma untuk menjalankan kehidupan. Doktrin dan ajaran yang di maksud mengacu pada Dhamma” sebagai ide Yang Benar/Kebenaran Sejati, Sang Jalan, Buah dari praktek, pemadam kehausan, kerinduan terhadap kesenangan dan nafsu keinginan rendah (taêha) (Khp.i.19).

Semua keinginan rendah menjadi penyebab penderitaan dan hanya dapat dilenyapkan dengan Dhamma yang mengacu pada Empat Kebenaran Ariya (cattari ariya saccani) yaitu (1) Penderitaan (dukkha-ariyasacca) (2) Sabab Penderitaan (dukkha-samudaya-ariyasacca) (3) Berhentinya Penderitaan (dukkha-nirodha-ariyasacca) (4) Jalan Menghentikan Penderitaan (dukkha-nirodhagämini-paëipadä-ariyasacca) dengan menjalankan Jalan Ariya Berunsur Delapan (aëëhaégika-magga) yaitu (1) Pandangan Benar (sammä-diëëhi) (2) Pikiran Benar (sammä-saékappa) (3) Ucapan Benar (sammä-väcä) (4) Perbuatan Benar (sammä-kammnta) (5) Mata Pencaharian Benar (sammä-äjiva) (6) Usaha Benar (sammä-väyäma) (7) Perhatian Benar (sammä-sati) (8) Meditasi Benar (sammä-samädhi) semuanya merupakan Kebenaran Tertinggi (A.ii.24; Vin.i.9; S.v.421).

Dhamma diartikan dalam banyak pengertian. Di barat Dhamma disebut sebagai istilah Buddhism (paham). Karena Dhamma dalam pengertian keagamaan adalah ajaran yang menyangkut Kebenaran Mutlak (transenden), hukum etika yang menguasai dan mengatur alam semesta. Buddha-Dhamma bukan ciptaan manusia karena Tathagata muncul atau tidak Dhamma sebagai hukum yang mengatur dan sebab-akibat tetap ada dialam semesta. Buddha hanya memahami, mencapai penerangan, mengumumkan, mengajar, menyingkapkan, merumudkan, menyatakan, menguraikan, menjelaskan dan berkata “Lihatlah! Karena kondisi ini maka terjadi itu” (S.ii.25).

Buddha-Dhamma merupakan sistem perenungan, pengembangan batin dan peraturan pelatihan dalam kkehidupan yang membawa kebahagian. Pengertian demikian lebih luas dari pengertian agama pada umunya yang menyatakan agama merupakan kepercayaan dan keyakinan, pemujaan, ketergantungan pada kekuatan eksternal (Rashid.1996;52).

Berlindung kepada Tiratana tidak berarti menyerahkan kehidupan. Karena setiap manusia memiliki kebebasan dan tanggung jawab terhadap kehidupannya. Baik dan buruk kehidupan manusia ditentukan diri sendiri. Buddha hanya sebagai guru, penolong, penyelamat dan penyelamat yang menunjukkan Jalan (Dhp.276).

Sabtu, 06 Juni 2009

Jumat, 05 Juni 2009

HUMANISTIK


PSIKOLOGI HUMANISTIK

I. PENGERTIAN

Psikologi humanistik atau disebut juga dengan nama psikologi kemanusiaan adalah suatu pendekatan yang multifaset terhadap pengalaman dan tingkah laku manusia, yang memusatkan perhatian pada keunikan dan aktualisasi diri manusia. Bagi sejumlah ahli psikologi humanistik ia adalah alternatif, sedangkan bagi sejumlah ahli psikologi humanistik yang lainnya merupakan pelengkap bagi penekanan tradisional behaviorisme dan psikoanalis (Misiak dan Sexton, 2005). Situs www.geocities.com/masterptvpsikologi menyebutkan bahwa psikologi humanistik berdasarkan kepada keyakinan bahwa nilai-nilai etika merupakan daya psikologi yang kuat dan ia merupakan penentu asas kelakuan manusia. Keyakinan ini membawa kepada usaha meningkatkan kualitas manusia seperti pilihan, kreativitas, interaksi fisik, mental dan jiwa, dan keperluan untuk menjadi lebih bebas. Situs yang sama menyebutkan bahwa psikologi humanistik juga didefinisikan sebagai sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan kepada berbagai nilai, sifat, dan tindak tanduk yang dipercayai terbaik bagi manusia.
Psikologi humanistik dapat dimengerti dari tiga ciri utama, yaitu, pertama psikologi humanistik menawarkan satu nilai yang baru sebagai pendekatan untuk memahami sifat dan keadaan manusia. Kedua, ia menawarkan pengetahuan yang luas akan kaedah penyelidikan dalam bidang tingkah laku manusia. Ketiga, ia menawarkan metode yang lebih luas akan kaedah-kaedah yang lebih efektif dalam pelaksanaan psikoterapi. Pokok persoalan dari psikologi humanistik adalah pengalaman subjektif manusia, keunikannya yang membedakan dari hewan-hewan, sedangkan area-area minat dan penelitian yang utama dari psikologi humanistik adalah kepribadian yang normal dan sehat, motivasi, kreativitas, kemungkinan-kemungkinan manusia untuk tumbuh dan bagaimana bisa mencapainya, serta nilai-nilai manusia Dalam metode-metode studinya, psikologi humanistik menggunakan berbag
ai metode mencakup wawancara, sejarah hidup, sastra, dan produk-produk kreatif lainnya. (Misiak dan Sexton, 2005).

Aliran ini secara eksplisit memberikan perhatian pada dimensi manusia dari psikologi dan konteks manusia dalam pengembangan teori psikologis. Permasalah ini dirangkum dalam lima postulat Psikologi Humanistik dari James Bugental (1964), sebagai berikut:

  1. Manusia tidak bisa direduksi menjadi komponen-komponen.
  2. Manusia memiliki konteks yang unik di dalam dirinya.
  3. Kesadaran manusia menyertakan kesadaran akan diri dalam konteks orang lain.
  4. Manusia mempunyai pilihan-pilihan dan tanggung jawab.
  5. Manusia bersifat intensional, mereka mencari makna, nilai, dan memiliki kreativitas.

Pendekatan humanistik ini mempunyai akar pada pemikiran eksistensialisme dengan tokoh-tokohnya seperti Kierkegaard, Nietzsche, Heidegger, dan Sartre.


II. Ciri-ciri dan Tujuan Psikologi Humanistik
Sebagai suatu paradigma, psikologi humanistik mempunyai ciri-ciri tertentu. Empat ciri
psikologi yang berorientasi humanistik sebagai berikut : (Misiak dan Sexton, 2005)
Memusatkan perhatian pada person yang mengalami dan karenanya berfokus pada pengalaman sebagai fenomena dalam me
mpelajari manusia
Menekankan pada kualitas-kualitas yang khas manusia, seperti memilih, kreativitas, menilai, dan realisasi diri, sebagai lawan dari pemikiran tentang manusia yang mekanistik dan reduksionistik
Menyandarkan diri pada kebermaknaan dalam memilih masalah-masalah yang akan dipelajari dan prosedur-prosedur penelitian yang akan digunakan serta menentang penekanan yang berlebihan pada objektivitas yang mengorbankan signifikansi.
Memberikan perhatian penuh dan meletakkan
nilai yang tinggi pada kemuliaan dan martabat manusia serta tertarik pada perkembangan potensi yang inheren pada setiap individu. Memang individu sebagaimana dia menemukan dirinya sendiri serta dalam hubungannya dengan individu-individu lain dan dengan kelompok-kelompok sosial.
Sedangkan Charlotte Buhler—pemimpin internasional dan juru bicara senior psikologi humanistik—menekankan ciri-ciri psikologi humanistik berikut ini sebagai hal-hal yang mendasar, yaitu: (dalam Misiak dan Sexton, 2005)
Mencoba menemukan jalan masuk ke arah studi dan pemahaman individu sebagai keseluruhan.
Berhubungan erat dengan eksistensialisme yang menjadi landasan filosofisnya dan terutama dengan pengalaman intensionalitas sebagai ”inti diri dan motivasi individu”.
Konsep tentang manusia yang paling sentral adalah kreativitas.

III. Konseling dan Terapi

Psikologi humanistik meliputi beberapa pendekatan untuk konseling dan psikoterapi. Pada pendekatan-pendekatan awal ditemukan teori perkembangan dari Abraham Maslow, yang menekankan pada hirarki kebutuhan dan motivasi, psikologi eksistensial dari Rollo May yang mempelajari pilihan-pilihan manusia dan aspek tragis dari keksistensian manusia, dan terapi person-centered atau client-centered dari Carl Rogers, yang memusatkan seputar kemampuan klien untuk mengarahkan diri sendiri (self-direction) dan memahami perkembangan diri sendiri. Pendekatan-pendekatan lain dalam konseling dan terapi psikologi humanistik adalah Gestalt therapy, humanistic psychotherapy, depth therapy, holistic health, encounter groups, sensitivity training, marital and family therapies, body work, dan the existential psychotherapy dari Medard Boss. Teori humanisitk juga mempunyai pen
garuh besar pada bentuk lain dari terapi yang populer, seperti Harvey Jackins' Re-evaluation Counselling dan studi dari Carl Rogers. Seperti yang disebutkan oleh Clay (dalam, http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology) psikologi humanistik cenderung untuk melihat melebihi model medikal dari psikologi dengan tujuan membuka pandangan non-patologis dari seseorang. Kunci dari pendekatan ini adalah pertemuan antara terapis dan klien dan adanya kemungkinan untuk berdialog. Hal ini seringkali berimplikasi terapis menyingkirkan aspek patologis dan lebih menekankan pada aspek sehat dari seseorang. Tujuan dari kebanyakan terapi humanistik adalah untuk membantu klien mendekati perasaan yang lebih kuat dan lebih sehat terhadap diri sendiri, yang biasa disebut self-actualization (Aanstoos, Serlin & Greening, 2000; Clay, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology). Semua ini adalah bagian dari motivasi psikolgi humanistik untuk menjadi ilmu dari pengalaman manusia, yang memfokuskan pada pengalaman hidup nyata dari seseorang (Aanstoos, Serlin & Greening, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology).

TEORI HUMANISTIK

Psikolog humanistik mencoba untuk melihat kehidupan manusia sebagaimana manusia melihat kehidupan mereka. Mereka cenderung untuk berpegang pada prespektif optimistik tentang sifat alamiah manusia. Mereka berfokus pada kemampuan manusia untuk berfikir secara sadar dan rasional untuk dalam mengendalikan hasrat biologisnya, serta dalam meraih potensi maksimal mereka. Dalam pandangan humanistik, manusia bertanggung jawab terhadap hidup dan perbuatannya serta mempunyai kebebasan dan kemampuan untuk mengubah sikap dan perilaku mereka.

SEJARAH PSk. HUMANISTIK

Psikologi humanistik merupakan salah satu aliran dalam psikologi yang muncul pada tahun 1950-an, dengan akar pemikiran dari kalangan eksistensialisme yang berkembang pada abad pertengahan. Pada akhir tahun 1950-an, para ahli psikologi, seperti : Abraham Maslow, Carl Rogers dan Clark Moustakas mendirikan sebuah asosiasi profesional yang berupaya mengkaji secara khusus tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang : self (diri), aktualisasi diri, kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat, individualitas dan sejenisnya.
Kehadiran psikologi humanistik muncul sebagai reaksi atas aliran psikoanalisis dan behaviorisme serta dipandang sebagai “kekuatan ketiga “ dalam aliran psikologi. Psikoanalisis dianggap sebagai kekuatan pertama dalam psikologi yang awal mulanya datang dari psikoanalisis ala Freud yang berusaha memahami tentang kedalaman psikis manusi
a yang dikombinasikan dengan kesadaran pikiran guna menghasilkan kepribadian yang sehat. Kelompok psikoanalis berkeyakinan bahwa perilaku manusia dikendalikan dan diatur oleh kekuatan tak sadar dari dalam diri.
Kekuatan psikologi yang kedua adalah behaviorisme yang dipelopori oleh Ivan Pavlov dengan hasil pemikirannya tentang refleks yang terkondisikan. Kalangan Behavioristik meyakini bahwa semua perilaku dikendalikan oleh faktor-faktor eksternal dari lingkungan.
Dalam mengembangkan teorinya, psikologi humanistik sangat memperhatikan tentang dimensi manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya secara manusiawi dengan menitik-beratkan pada kebebasan individu untuk mengungkapkan pendapat dan menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung jawab personal, otonomi, tujuan dan pemaknaan. Dalam hal ini, James Bugental (1964) mengemukakan tentang 5 (lima) dalil utama dari psikologi hum
anistik, yaitu: (1) keberadaan manusia tidak dapat direduksi ke dalam komponen-komponen; (2) manusia memiliki keunikan tersendiri dalam berhubungan dengan manusia lainnya; (3) manusia memiliki kesadaran akan dirinya dalam mengadakan hubungan dengan orang lain; (4) manusia memiliki pilihan-pilihan dan dapat bertanggung jawab atas pilihan-pilihanya; dan (5) manusia memiliki kesadaran dan sengaja untuk mencari makna, nilai dan kreativitas.
Terdapat beberapa ahli psikologi yang telah memberikan sumbangan pemikirannya terhadap perkembangan psikologi humanistik. Sumbangan Snyggs dan Combs (1949) dari kelompok fenomenologi yang mengkaji tentang persepsi. Dia percaya bahwa seseorang akan berperilaku sejalan dengan apa yang dipersepsinya. Men
urutnya, bahwa realitas bukanlah sesuatu yang yang melekat dari kejadian itu sendiri, melainkan dari persepsinya terhadap suatu kejadian. Dari pemikiran Abraham Maslow (1950) yang memfokuskan pada kebutuhan psikologis tentang potensi-potensi yang dimiliki manusia. Hasil pemikirannya telah membantu guna memahami tentang motivasi dan aktualisasi diri seseorang, yang merupakan salah satu tujuan dalam pendidikan humanistik. Morris (1954) meyakini bahwa manusia dapat memikirkan tentang proses berfikirnya sendiri dan kemudian mempertanyakan dan mengoreksinya. Dia menyebutkan pula bahwa setiap manusia dapat memikirkan tentang perasaan-persaannya dan juga memiliki kesadaran akan dirinya. Dengan kesadaran dirinya, manusia dapat berusaha menjadi lebih baik. Carl Rogers berjasa besar dalam mengantarkan psikologi humanistik untuk dapat diaplikasian dalam pendidikan. Dia mengembangkan satu filosofi pendidikan yang menekankan pentingnya pembentukan pemaknaan personal selama berlangsungnya proses pembelajaran dengan melalui upaya menciptakan iklim emosional yang kondusif agar dapat membentuk pemaknaan personal tersebut. Dia memfokuskan pada hubungan emosional antara guru dengan siswa
Berkenaan dengan epistemiloginya, teori-teori humanistik dikembangkan lebih berdasarkan pada metode penelitian kualitatif yang menitik-beratkan pada pengalaman hidup manusia secara nyata (Aanstoos, Serlin & Greening, 2000). Kalangan humanistik beranggapan bahwa usaha mengkaji tentang mental dan perilaku manusia secara ilmiah melalui metode k
uantitatif sebagai sesuatu yang salah kaprah. Tentunya hal ini merupakan kritikan terhadap kalangan kognitivisme yang mengaplikasikan metode ilmiah pendekatan kuantitatif dalam usaha mempelajari tentang psikologi.
Sebaliknya, psikologi humanistik pun mendapat kritikan bahwa teori-teorinya tidak mungkin dapat memfalsifikasi dan kurang memiliki kekuatan prediktif sehingga dianggap bukan sebagai suatu ilmu (Popper, 1969, Chalmers, 1999).
Hasil pemikiran dari psikologi humanistik banyak dimanfaatkan untuk kepentingan konseling dan terapi, salah satunya yang sangat populer adalah dari Carl Rogers dengan client-cen
tered therapy, yang memfokuskan pada kapasitas klien untuk dapat mengarahkan diri dan memahami perkembangan dirinya, serta menekankan pentingnya sikap tulus, saling menghargai dan tanpa prasangka dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogers menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas konselor hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers, teknik-teknik asesmen dan pendapat para konselor bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment atau pemberian bantuan kepada klien.
Selain memberikan sumbangannya terhadap konseling dan terapi, psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan alternatif yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik (humanistic education). Pendidikan humanistik berusaha mengembangkan individu secara keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan humanistik ini.

TOKOH-TOKOH HUMANISTIK

Sebagaimana behaviorisme dan psikoanalisis, psikologi humanistik pun mempunyai tokoh-tokoh yang terkenal, yang pemikiran-pemikiran dan teori-teorinya memberikan kontribusi yang cukup besar demi perkembangan psikologi humanistik. Dari tokoh-tokoh tersebut, ada dua orang tokoh yang berperan besar dalam pembentukkan serta perkembangan psikologi. Kedua tokoh tersebut adalah Abraham Maslow dan Carl Rogers. Oleh karena peran mereka yang signifikan itu maka penulis pada tulisan berikut akan mencoba bercerita mengenai biografi singkat berserta teori-teori yang diciptakan dari kedua tokoh psikologi humanistik tersebut.

1. Abraham Maslow
Situs www.e-psikologi.com/lain-lain/tokoh.htm menyebutkan bahwa Abraham Maslow dilahirkan di Brooklyn, New York, pada tahun 1908 dan wafat pada tahun 1970 dalam usia 62 tahun. Maslow dibesarkan dalam keluarga Yahudi dan merupakan anak tertua dari tujuh bersaudara. Masa muda Maslow berjalan dengan tidak menyenangkan karena hubungannya yang buruk dengan kedua orangtuanya. Semasa kanak-kanak dan remaja Maslow merasa bahwa dirinya amat menderita dengan perlakuan orangtuanya, terutama ibunya. Keluarga Maslow amat berharap bahwa ia dapat meraih sukses melalui dunia pendidikan. Untuk menyenangkan kemauan ayahnya, Maslow sempat belajar di bidang Hukum tetapi kemudian tidak dilanjutkannya. Ia akhirnya mengambil bidang studi psikologi di University of Wisconsin, dimana ia memperoleh gelar Bachelor tahun 1930, Master tahun 1931, dan Ph.D pada tahun 1934.
Abraham Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Hierarchy of needs (hirarki kebutuhan) dari Maslow menyatakan bahwa manusia memiliki 5 macam kebutuhan yaitu physiological needs (kebutuhan fisiologis), safety and security needs (kebutuhan akan rasa aman), love and belonging needs (kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki), esteem needs (kebutuhan akan harga diri), dan, self-actualization (kebutuhan akan aktualisasi diri). Berikut penjelasannya (dalam http://facultyweb.cortland.edu/~andersmd/maslow/explain.html) :
Kebutuhan Fisiologis
Jenis kebutuhan ini berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar semua manusia seperti, makan, minum, menghirup udara, dan sebagainya. Termasuk juga kebutuhan untuk istirahat, buang air besar atau kecil, menghindari rasa sakit, dan, seks. Jika kebutuhan dasar ini tidak terpenuhi, maka tubuh akan menjadi rentan terhadap penyakit, terasa lemah, tidak fit, sehingga proses untuk memenuhi kebutuhan selanjutnya dapat terhambat. Hal ini juga berlaku pada setiap jenis kebutuhan lainnya, yaitu jika terdapat kebutuhan yang tidak terpenuhi, maka akan sulit untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi.
Kebutuhan akan Rasa Aman
Ketika kebutuhan fisiologis seseorang telah terpenuhi secara layak, kebutuhan akan rasa aman mulai muncul. Keadaan aman, stabilitas, proteksi, dan keteraturan akan menjadi kebutuhan yang meningkat. Jika tidak terpenuhi, maka akan timbul rasa cemas dan takut sehingga dapat menghambat pemenuhan kebutuhan lainnya.
Kebutuhan akan Rasa Kasih Sayang
Ketika seseorang merasa bahwa kedua jenis kebutuhan di atas terpenuhi, maka akan mulai timbul kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki. Hal ini dapat terlihat dalam usaha seseorang untuk mencari dan mendapatkan teman, kekasih, anak, atau bahkan keinginan untuk menjadi bagian dari suatu komunitas tertentu seperti tim sepakbola, klub peminatan, dan seterusnya. Jika tidak terpenuhi, maka perasaan kesepian akan timbul.
Kebutuhan akan Harga Diri
Kemudian, setelah ketiga kebutuhan di atas terpenuhi, akan timbul kebutuhan akan harga diri. Menurut Maslow, terdapat dua jenis, yaitu lower one dan higher one. Lower one berkaitan dengan kebutuhan seperti status, atensi, dan reputasi. Sedangkan higher one berkaitan dengan kebutuhan akan kepercayaan diri, kompetensi, prestasi, kemandirian, dan kebebasan. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka dapat timbul perasaan rendah diri dan inferior.
Kebutuhan akan Aktualisasi Diri
Kebutuhan terakhir menurut hirarki kebutuhan Maslow adalah kebutuhan akan aktualisasi diri. Jenis kebutuhan ini berkaitan erat dengan keinginan untuk mewujudkan dan mengembangkan potensi diri.


2. Carl Ransom Rogers
Carl Ransom Rogers dilahirkan pada 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois dan meninggal dunia di La Jolla, California, pada 4 Februari 1987 sewaktu berumur 85 tahun. Sewaktu remaja, Rogers tidak memiliki banyak teman sehingga menyebabkan ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca.. Ia pernah belajar di bidang agrikultur dan sejarah di University of Wisconsin. Di tempat tersebut Rogers mengikuti berbagai aktivitas, termasuk menjadi delegasi untuk Persidangan Antarabangsa Persekutuan Pelajar Kristian di China. Pada tahun 1924 ia menerima ijazah pertama dalam bidang sejarah dan menikah pada tahun yang sama. Pada tahun 1928 ia memperoleh gelar Master dalam bidang psikologi dari Columbia University dan kemudian memperolehi gelar Ph.D di di bidang klinis dan psikologi pendidikan pada tahun 1931 (dalam http://www.geocities.com/masterptvpsikologi/psikologihumanistik.pdf).

Situs http://www.e-psikologi.com/lain-lain/tokoh.htm#tigabelas menyebutkan bahwa pada tahun 1931 pula Rogers bekerja di Child Study Department of the Society for the prevention of Cruelty to Children (bagian studi tentang anak pada perhimpunan pencegahan kekerasan tehadap anak) di Rochester, NY. Pada masa-masa berikutnya ia sibuk membantu anak-anak bermasalah/nakal dengan menggunakan metode-metode psikologi. Pada tahun 1939, ia menerbitkan satu tulisan berjudul "The Clinical Treatment of the Problem Child", yang membuatnya mendapatkan tawaran sebagai profesor pada fakultas psikologi di Ohio State University. Dan pada tahun 1942, Rogers menjabat sebagai ketua dari American Psychological Society.

Carl Rogers adalah seorang psikolog humanistik yang menekankan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa prasangka (antara klien dan terapis) dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogers menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas terapis hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers, teknik-teknik assessment dan pendapat para terapis bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment kepada klien. Hasil karya Rogers yang paling terkenal dan masih menjadi literatur sampai hari ini adalah metode konseling yang disebut Client-Centered Therapy. Dua buah bukunya yang juga sangat terkenal adalah Client-Centered Therapy(1951) dan On Becoming a Person (1961).
Naisaban (2004) menyebutkan bahwa Rogers dianggap penting tidak hanya sebagai teoretisi tapi juga sebagai praktisi psikoterapi. Konsep mengenai kepribadian dan terapi berkisar pada gagasan dan kepercayaan bahwa predominasi (keunggulan) mendasar diri yang subjektif dan bahwa manusia hidup dalam dunia pribadi dan subjektif. Rogers mengatakan bahwa individu mempunyai seperangkat persepsi yang terorganisir dari dirinya serta hubungannya dengan orang lain. Konsep diri tidak berkeping-keping tetapi suatu “gestalt” dengan suatu pole koheren dan terpadu. Sebagai tambahan pada konsep diri, individu mempunyai Ideal Self, yaitu apa yang diinginkan, cita-cita atau dianggap seharusnya demikian. Rogers memakai ketidaksesuaian antar konsep diri dengan Ideal Self sebagai ukuran ketidakmampuan menyesuaikan diri.

Rogers berpendapat bahwa sering ada ketidaksesuaian antara konsep diri seseorang dengan kenyataan. Orang-orang muda terkena rasa cemas bila konsep dirinya tidak sesuai dengan kenyataan. Bila pengalaman tidak mendukung pandangan seseorang atas dirinya sendiri, maka ia mungkin akan mengerahkan berbagai mekanisme pertahanan diri. Rogers yakin bahwa ada penyesuaian psikologis bila konsep diri ada dalam posisi sedemikian rupa sehingga semua pengalaman organisme membaur ke dalam hubungan yang konsisten dengan konsep diri.

Roges terkenal dengan teori non-directive therapy yang berpusat pada klien (Naisaban, 2004). Teori terapi ini berpusat pada klien atau terapi non-directive, yang dikembangkan selama bertahun-tahun sesudah masa perang, di Universitas Chicago. Teknik ini pada prinsipnya memberikan kesempatan pada individu yang tidak mampu menyesuaikan diri agar mau berbicara kepada seorang konselor, yang mirip dengan cara klien bercakap-cakap dengan pengacaranya, yaitu duduk dan bertatap muka. Terapis berperan seminimal mungkin selama percakapan klinis itu, dan terapis sendiri berusaha mengembangkan satu iklim penerimaan yang hangat dan memungkinkan, sehingga klien merasa bebas untuk berbicara. Dengan bebas berbicara dan mengungkapkan diri, klien akan sampai pada suatu pemahaman diri sendiri Kadang terapis berusaha untuk menjelaskan ungkapan-ungkapan pasien dengan mengulanginya sambil memberi tekanan atau mengubahnya untuk mengemukakan hal-hal yang penting dan berarti, tetapi penafsiran diberikan seminimal mungkin. Dengan berbicara dan mengungkapkan diri, klien itu menyembuhkan diri sendiri. Asumsi bahwa individu dapat sampai pada tahap mengenal diri sendiri ini tumbuh dalam keyakinan Rogers. Ia berkeyakinan juga bahwa penyebab ketidakyakinan klien menyesuaikan diri, karena peran di atas diputarbalikkan, terapis lebih banyak berperan daripada klien.

Rogers sangat percaya dan optimis terhadap sifat alami manusia. Dia yakin bahwa dorongan paling dasar adalah aktualisasi, yaitu memelihara, menegakkan, mempertahankan diri, dan meningkatkan diri sendiri. Dia percaya bahwa dengan memberikan satu kesempatan, individu akan berkembang dalam gerak maju dan punya car-cara untuk menyesuaikan diri. Namun, banyak nilai dan sikap bukan merupakan buah dari pengalaman langsung diri sendiri, akan tetapi merupakan introyeksi dari orang tua, guru, dan teman, dan menyebabkan terjadinya simbolisasi yang menyimpang atau yang diputarbalikkan yang menyebabkan terjadinya intergrasi yang salah atau tidak wajar dalam jati dirinya. Sebagai akibatnya, banyak individu terbelah, tidak bahagia, dan tidak mampu merealisasikan secara penuh potensi-potensinya. Oleh karena itu, proses penyuluhan non-direktif memungkinkan individu bisa menemukan perasaannya yang sejati mengenai kehormatan dirinya yang positif serta kondisi-kondisi harga dirinya (Naisaban, 2004).

IMPLEMENTASI HUMANISTIK

Sosok guru yang humanistik
Ketika dunia dihentak gelombang pergeseran nilai-nilai kehidupan, muncullah gerakan mengembalikan sistim pendidikan ke sebuah setting yang lebih manusiawi. Pendidikan diharapkan memotivasi manusia untuk menjadi dirinya sendiri. Lebih lanjut, pendidikan perlu menghantar seseorang untuk memahami siapa dirinya dan bukannya membentuk manusia sesuai forma yang telah direncanakan. Peserta didik dibiarkan mengenal dan menjadi dirinya sendiri. Ketika dia sudah mengenal dirinya, tentu dia bisa menentukan pilihan dan arah hidupnya. Maka sangat naif jika seorang ayah yang berprofesi sebagai dokter mengharapkan anaknya menjadi dokter, padahal anak tersebut tidak terlalu mahir di bidang eksakta. Atau, seorang ibu yang berprofesi akuntan menginginkan anak-anaknya juga menjadi akuntan, padahal mereka sangat tidak berminat dalam mengelola usaha dan uang.

Begitu pula di sekolah. dalam konteks pendidikan yang humanistik, seorang guru dituntut memiliki hubungan emosional yang positif dengan anak didik. Kehangatan dan kelemahlembutan adalah sikap utama yang perlu ditonjolkan. Daripada menjadi seorang pendikte isi buku di dalam kelas, sebaiknya seorang guru menyajikan materi-materi secara imajinatif serta kreatif dalam memfasilitasi proses pembelajaran. Hal ini dapat dilakukan dengan menjajaki kesan-kesan para siswa akan proses pembelajaran yang difasilitasi oleh guru bersangkutan.
Di samping itu, guru pun perlu menaruh kepercayaan bahwa para murid pun bisa mempelajari bahan-bahan yang telah didiskusikan bersama, memberikan pujian kepada siswa yang berhasil mendapat nilai bagus, serta memotivasi siswa yang agak lamban dalam menyerap pelajaran.

Sistem pembelajaran yang humanistik

Ibarat sebuah kapal, lembaga pendidikan (apa pun visi dan misinya) tentu memiliki arah dan tujuan yang jelas. Di mana-mana menjamur berbagai lembaga pendidikan dengan latar belakang yang beragam jika dilihat dari namanya. Ada yang terkesan nasionalis karena memakai label negeri, ada pula yang terkesan religius karena memasang nama agama di belakangnya, seperti SMAK (Sekolah Menengah Atas Katolik), UII (Universitas Islam Indonesia), dan sebagainya.

Namun demikian, konteks lembaga pendidikan tersebut sebetulnya tidak bisa ditebak hanya dengan membaca kover luarnya saja. Perlu penelitian lebih lanjut, apakah sekolah itu benar-benar mengajarkan nilai-nilai Kristiani karena memakai nama Katolik? Apakah universitas tersebut benar-benar kumpulan orang Muslim karena memakai nama Islam?

Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan itu, secara universal, apa pun nama dan bentuk lembaga pendidikan tersebut, perlu diterapkan beberapa elemen berikut ini : 1. Partisipasi. Dalam dunia pendidikan, partisipasi mampu menghidupkan suasana yang interaktif. Dua belah pihak, guru dan siswa, perlu saling peduli, saling sharing, melakukan negosiasi, dan sama-sama bertanggung jawab atas proses dan output pendidikan. Hal ini penting agar di akhir tahun, ketika terjadi kegagalan studi, maka tidak terjadi saling tuding antara para pihak yang memiliki kepedulian terhadap dunia pendidikan (guru, siswa, orangtua siswa, ahli kurikulum, NGO, dan masyarakat luas). 2. Integrasi. Di sini, perlu ditekankan interaksi, interpenetrasi, serta integrasi pemikiran, perasaan dan tindakan. Membangun manusia yang seutuhnya berarti membangun manusia yang konsisten dalam ketiga hal tersebut.3. Keterkaitan. Bahwa materi yang diajarkan perlu memiliki hubungan yang erat dengan kebutuhan hidup dasar peserta didik serta berpengaruh nyata untuk mereka, baik secara emosional maupun secara intelektual. 4.Transparansi dalam menyampaikan tujuan pembelajaran. Para siswa pun berhak mengetahui bahwa pada akhir pelajaran, mereka harus memahami hal-hal tertentu yang mampu meningkatkan pengetahuan mereka. Dari sini, semakin nyata bahwa siswa perlu tahu ke mana mereka diarahkan dalam sebuah pelajaran. Banyak guru kurang menekankan bagian ini, dan langsung masuk ke "inti" pembahasan, padahal hal ikhwal menjelaskan tujuan adalah termasuk hal "inti" pula. 5. Terakhir, tentu saja tujuan sosial dari pendidikan. Karena pendidikan adalah sebuah sarana menyiapkan manusia untuk untuk berkarya dalam masyarakat, maka pendidikan perlu menekankan penempaan akal dan mental peserta didik, agar mampu menjadi sosok intelektual yang berbudaya.

Membangun sistem pendidikan yang humanistik memang tidak mudah. Namun, karena berkaitan dengan persiapan sumber daya manusia, maka pendidikan yang humanistik sudah merupakan keharusan. Pendidikan yang humanistik memerlukan guru yang profesional, murid yang partisipatif, orangtua yang selalu berdialog dengan guru dan anak didik, serta masyarakat luas yang memiliki kontrol sosial yang ketat terhadap proses pendidikan. *

humanistik

PSIKOLOGI HUMANISTIK

I. PENGERTIAN

Psikologi humanistik atau disebut juga dengan nama psikologi kemanusiaan adalah suatu pendekatan yang multifaset terhadap pengalaman dan tingkah laku manusia, yang memusatkan perhatian pada keunikan dan aktualisasi diri manusia. Bagi sejumlah ahli psikologi humanistik ia adalah alternatif, sedangkan bagi sejumlah ahli psikologi humanistik yang lainnya merupakan pelengkap bagi penekanan tradisional behaviorisme dan psikoanalis (Misiak dan Sexton, 2005). Situs www.geocities.com/masterptvpsikologi menyebutkan bahwa psikologi humanistik berdasarkan kepada keyakinan bahwa nilai-nilai etika merupakan daya psikologi yang kuat dan ia merupakan penentu asas kelakuan manusia. Keyakinan ini membawa kepada usaha meningkatkan kualitas manusia seperti pilihan, kreativitas, interaksi fisik, mental dan jiwa, dan keperluan untuk menjadi lebih bebas. Situs yang sama menyebutkan bahwa psikologi humanistik juga didefinisikan sebagai sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan kepada berbagai nilai, sifat, dan tindak tanduk yang dipercayai terbaik bagi manusia.
Psikologi humanistik dapat dimengerti dari tiga ciri utama, yaitu, pertama psikologi humanistik menawarkan satu nilai yang baru sebagai pendekatan untuk memahami sifat dan keadaan manusia. Kedua, ia menawarkan pengetahuan yang luas akan kaedah penyelidikan dalam bidang tingkah laku manusia. Ketiga, ia menawarkan metode yang lebih luas akan kaedah-kaedah yang lebih efektif dalam pelaksanaan psikoterapi. Pokok persoalan dari psikologi humanistik adalah pengalaman subjektif manusia, keunikannya yang membedakan dari hewan-hewan, sedangkan area-area minat dan penelitian yang utama dari psikologi humanistik adalah kepribadian yang normal dan sehat, motivasi, kreativitas, kemungkinan-kemungkinan manusia untuk tumbuh dan bagaimana bisa mencapainya, serta nilai-nilai manusia Dalam metode-metode studinya, psikologi humanistik menggunakan berbagai metode mencakup wawancara, sejarah hidup, sastra, dan produk-produk kreatif lainnya. (Misiak dan Sexton, 2005).

Aliran ini secara eksplisit memberikan perhatian pada dimensi manusia dari psikologi dan konteks manusia dalam pengembangan teori psikologis. Permasalah ini dirangkum dalam lima postulat Psikologi Humanistik dari James Bugental (1964), sebagai berikut:

  1. Manusia tidak bisa direduksi menjadi komponen-komponen.
  2. Manusia memiliki konteks yang unik di dalam dirinya.
  3. Kesadaran manusia menyertakan kesadaran akan diri dalam konteks orang lain.
  4. Manusia mempunyai pilihan-pilihan dan tanggung jawab.
  5. Manusia bersifat intensional, mereka mencari makna, nilai, dan memiliki kreativitas.

Pendekatan humanistik ini mempunyai akar pada pemikiran eksistensialisme dengan tokoh-tokohnya seperti Kierkegaard, Nietzsche, Heidegger, dan Sartre.


II. Ciri-ciri dan Tujuan Psikologi Humanistik
Sebagai suatu paradigma, psikologi humanistik mempunyai ciri-ciri tertentu. Empat ciri psikologi yang berorientasi humanistik sebagai berikut : (Misiak dan Sexton, 2005)
Memusatkan perhatian pada person yang mengalami dan karenanya berfokus pada pengalaman sebagai fenomena dalam mempelajari manusia
Menekankan pada kualitas-kualitas yang khas manusia, seperti memilih, kreativitas, menilai, dan realisasi diri, sebagai lawan dari pemikiran tentang manusia yang mekanistik dan reduksionistik
Menyandarkan diri pada kebermaknaan dalam memilih masalah-masalah yang akan dipelajari dan prosedur-prosedur penelitian yang akan digunakan serta menentang penekanan yang berlebihan pada objektivitas yang mengorbankan signifikansi.
Memberikan perhatian penuh dan meletakkan nilai yang tinggi pada kemuliaan dan martabat manusia serta tertarik pada perkembangan potensi yang inheren pada setiap individu. Memang individu sebagaimana dia menemukan dirinya sendiri serta dalam hubungannya dengan individu-individu lain dan dengan kelompok-kelompok sosial.
Sedangkan Charlotte Buhler—pemimpin internasional dan juru bicara senior psikologi humanistik—menekankan ciri-ciri psikologi humanistik berikut ini sebagai hal-hal yang mendasar, yaitu: (dalam Misiak dan Sexton, 2005)
Mencoba menemukan jalan masuk ke arah studi dan pemahaman individu sebagai keseluruhan.
Berhubungan erat dengan eksistensialisme yang menjadi landasan filosofisnya dan terutama dengan pengalaman intensionalitas sebagai ”inti diri dan motivasi individu”.
Konsep tentang manusia yang paling sentral adalah kreativitas.

III. Konseling dan Terapi
Psikologi humanistik meliputi beberapa pendekatan untuk konseling dan psikoterapi. Pada pendekatan-pendekatan awal ditemukan teori perkembangan dari Abraham Maslow, yang menekankan pada hirarki kebutuhan dan motivasi, psikologi eksistensial dari Rollo May yang mempelajari pilihan-pilihan manusia dan aspek tragis dari keksistensian manusia, dan terapi person-centered atau client-centered dari Carl Rogers, yang memusatkan seputar kemampuan klien untuk mengarahkan diri sendiri (self-direction) dan memahami perkembangan diri sendiri. Pendekatan-pendekatan lain dalam konseling dan terapi psikologi humanistik adalah Gestalt therapy, humanistic psychotherapy, depth therapy, holistic health, encounter groups, sensitivity training, marital and family therapies, body work, dan the existential psychotherapy dari Medard Boss. Teori humanisitk juga mempunyai pengaruh besar pada bentuk lain dari terapi yang populer, seperti Harvey Jackins' Re-evaluation Counselling dan studi dari Carl Rogers. Seperti yang disebutkan oleh Clay (dalam, http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology) psikologi humanistik cenderung untuk melihat melebihi model medikal dari psikologi dengan tujuan membuka pandangan non-patologis dari seseorang. Kunci dari pendekatan ini adalah pertemuan antara terapis dan klien dan adanya kemungkinan untuk berdialog. Hal ini seringkali berimplikasi terapis menyingkirkan aspek patologis dan lebih menekankan pada aspek sehat dari seseorang. Tujuan dari kebanyakan terapi humanistik adalah untuk membantu klien mendekati perasaan yang lebih kuat dan lebih sehat terhadap diri sendiri, yang biasa disebut self-actualization (Aanstoos, Serlin & Greening, 2000; Clay, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology). Semua ini adalah bagian dari motivasi psikolgi humanistik untuk menjadi ilmu dari pengalaman manusia, yang memfokuskan pada pengalaman hidup nyata dari seseorang (Aanstoos, Serlin & Greening, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology).

TEORI HUMANISTIK

Psikolog humanistik mencoba untuk melihat kehidupan manusia sebagaimana manusia melihat kehidupan mereka. Mereka cenderung untuk berpegang pada prespektif optimistik tentang sifat alamiah manusia. Mereka berfokus pada kemampuan manusia untuk berfikir secara sadar dan rasional untuk dalam mengendalikan hasrat biologisnya, serta dalam meraih potensi maksimal mereka. Dalam pandangan humanistik, manusia bertanggung jawab terhadap hidup dan perbuatannya serta mempunyai kebebasan dan kemampuan untuk mengubah sikap dan perilaku mereka.

SEJARAH PSk. HUMANISTIK

Psikologi humanistik merupakan salah satu aliran dalam psikologi yang muncul pada tahun 1950-an, dengan akar pemikiran dari kalangan eksistensialisme yang berkembang pada abad pertengahan. Pada akhir tahun 1950-an, para ahli psikologi, seperti : Abraham Maslow, Carl Rogers dan Clark Moustakas mendirikan sebuah asosiasi profesional yang berupaya mengkaji secara khusus tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang : self (diri), aktualisasi diri, kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat, individualitas dan sejenisnya.
Kehadiran psikologi humanistik muncul sebagai reaksi atas aliran psikoanalisis dan behaviorisme serta dipandang sebagai “kekuatan ketiga “ dalam aliran psikologi. Psikoanalisis dianggap sebagai kekuatan pertama dalam psikologi yang awal mulanya datang dari psikoanalisis ala Freud yang berusaha memahami tentang kedalaman psikis manusia yang dikombinasikan dengan kesadaran pikiran guna menghasilkan kepribadian yang sehat. Kelompok psikoanalis berkeyakinan bahwa perilaku manusia dikendalikan dan diatur oleh kekuatan tak sadar dari dalam diri.
Kekuatan psikologi yang kedua adalah behaviorisme yang dipelopori oleh Ivan Pavlov dengan hasil pemikirannya tentang refleks yang terkondisikan. Kalangan Behavioristik meyakini bahwa semua perilaku dikendalikan oleh faktor-faktor eksternal dari lingkungan.
Dalam mengembangkan teorinya, psikologi humanistik sangat memperhatikan tentang dimensi manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya secara manusiawi dengan menitik-beratkan pada kebebasan individu untuk mengungkapkan pendapat dan menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung jawab personal, otonomi, tujuan dan pemaknaan. Dalam hal ini, James Bugental (1964) mengemukakan tentang 5 (lima) dalil utama dari psikologi humanistik, yaitu: (1) keberadaan manusia tidak dapat direduksi ke dalam komponen-komponen; (2) manusia memiliki keunikan tersendiri dalam berhubungan dengan manusia lainnya; (3) manusia memiliki kesadaran akan dirinya dalam mengadakan hubungan dengan orang lain; (4) manusia memiliki pilihan-pilihan dan dapat bertanggung jawab atas pilihan-pilihanya; dan (5) manusia memiliki kesadaran dan sengaja untuk mencari makna, nilai dan kreativitas.
Terdapat beberapa ahli psikologi yang telah memberikan sumbangan pemikirannya terhadap perkembangan psikologi humanistik. Sumbangan Snyggs dan Combs (1949) dari kelompok fenomenologi yang mengkaji tentang persepsi. Dia percaya bahwa seseorang akan berperilaku sejalan dengan apa yang dipersepsinya. Menurutnya, bahwa realitas bukanlah sesuatu yang yang melekat dari kejadian itu sendiri, melainkan dari persepsinya terhadap suatu kejadian. Dari pemikiran Abraham Maslow (1950) yang memfokuskan pada kebutuhan psikologis tentang potensi-potensi yang dimiliki manusia. Hasil pemikirannya telah membantu guna memahami tentang motivasi dan aktualisasi diri seseorang, yang merupakan salah satu tujuan dalam pendidikan humanistik. Morris (1954) meyakini bahwa manusia dapat memikirkan tentang proses berfikirnya sendiri dan kemudian mempertanyakan dan mengoreksinya. Dia menyebutkan pula bahwa setiap manusia dapat memikirkan tentang perasaan-persaannya dan juga memiliki kesadaran akan dirinya. Dengan kesadaran dirinya, manusia dapat berusaha menjadi lebih baik. Carl Rogers berjasa besar dalam mengantarkan psikologi humanistik untuk dapat diaplikasian dalam pendidikan. Dia mengembangkan satu filosofi pendidikan yang menekankan pentingnya pembentukan pemaknaan personal selama berlangsungnya proses pembelajaran dengan melalui upaya menciptakan iklim emosional yang kondusif agar dapat membentuk pemaknaan personal tersebut. Dia memfokuskan pada hubungan emosional antara guru dengan siswa
Berkenaan dengan epistemiloginya, teori-teori humanistik dikembangkan lebih berdasarkan pada metode penelitian kualitatif yang menitik-beratkan pada pengalaman hidup manusia secara nyata (Aanstoos, Serlin & Greening, 2000). Kalangan humanistik beranggapan bahwa usaha mengkaji tentang mental dan perilaku manusia secara ilmiah melalui metode kuantitatif sebagai sesuatu yang salah kaprah. Tentunya hal ini merupakan kritikan terhadap kalangan kognitivisme yang mengaplikasikan metode ilmiah pendekatan kuantitatif dalam usaha mempelajari tentang psikologi.
Sebaliknya, psikologi humanistik pun mendapat kritikan bahwa teori-teorinya tidak mungkin dapat memfalsifikasi dan kurang memiliki kekuatan prediktif sehingga dianggap bukan sebagai suatu ilmu (Popper, 1969, Chalmers, 1999).
Hasil pemikiran dari psikologi humanistik banyak dimanfaatkan untuk kepentingan konseling dan terapi, salah satunya yang sangat populer adalah dari Carl Rogers dengan client-centered therapy, yang memfokuskan pada kapasitas klien untuk dapat mengarahkan diri dan memahami perkembangan dirinya, serta menekankan pentingnya sikap tulus, saling menghargai dan tanpa prasangka dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogers menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas konselor hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers, teknik-teknik asesmen dan pendapat para konselor bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment atau pemberian bantuan kepada klien.
Selain memberikan sumbangannya terhadap konseling dan terapi, psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan alternatif yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik (humanistic education). Pendidikan humanistik berusaha mengembangkan individu secara keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan humanistik ini.

TOKOH-TOKOH HUMANISTIK

Sebagaimana behaviorisme dan psikoanalisis, psikologi humanistik pun mempunyai tokoh-tokoh yang terkenal, yang pemikiran-pemikiran dan teori-teorinya memberikan kontribusi yang cukup besar demi perkembangan psikologi humanistik. Dari tokoh-tokoh tersebut, ada dua orang tokoh yang berperan besar dalam pembentukkan serta perkembangan psikologi. Kedua tokoh tersebut adalah Abraham Maslow dan Carl Rogers. Oleh karena peran mereka yang signifikan itu maka penulis pada tulisan berikut akan mencoba bercerita mengenai biografi singkat berserta teori-teori yang diciptakan dari kedua tokoh psikologi humanistik tersebut.

1. Abraham Maslow
Situs www.e-psikologi.com/lain-lain/tokoh.htm menyebutkan bahwa Abraham Maslow dilahirkan di Brooklyn, New York, pada tahun 1908 dan wafat pada tahun 1970 dalam usia 62 tahun. Maslow dibesarkan dalam keluarga Yahudi dan merupakan anak tertua dari tujuh bersaudara. Masa muda Maslow berjalan dengan tidak menyenangkan karena hubungannya yang buruk dengan kedua orangtuanya. Semasa kanak-kanak dan remaja Maslow merasa bahwa dirinya amat menderita dengan perlakuan orangtuanya, terutama ibunya. Keluarga Maslow amat berharap bahwa ia dapat meraih sukses melalui dunia pendidikan. Untuk menyenangkan kemauan ayahnya, Maslow sempat belajar di bidang Hukum tetapi kemudian tidak dilanjutkannya. Ia akhirnya mengambil bidang studi psikologi di University of Wisconsin, dimana ia memperoleh gelar Bachelor tahun 1930, Master tahun 1931, dan Ph.D pada tahun 1934.
Abraham Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Hierarchy of needs (hirarki kebutuhan) dari Maslow menyatakan bahwa manusia memiliki 5 macam kebutuhan yaitu physiological needs (kebutuhan fisiologis), safety and security needs (kebutuhan akan rasa aman), love and belonging needs (kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki), esteem needs (kebutuhan akan harga diri), dan, self-actualization (kebutuhan akan aktualisasi diri). Berikut penjelasannya (dalam http://facultyweb.cortland.edu/~andersmd/maslow/explain.html) :
Kebutuhan Fisiologis
Jenis kebutuhan ini berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar semua manusia seperti, makan, minum, menghirup udara, dan sebagainya. Termasuk juga kebutuhan untuk istirahat, buang air besar atau kecil, menghindari rasa sakit, dan, seks. Jika kebutuhan dasar ini tidak terpenuhi, maka tubuh akan menjadi rentan terhadap penyakit, terasa lemah, tidak fit, sehingga proses untuk memenuhi kebutuhan selanjutnya dapat terhambat. Hal ini juga berlaku pada setiap jenis kebutuhan lainnya, yaitu jika terdapat kebutuhan yang tidak terpenuhi, maka akan sulit untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi.
Kebutuhan akan Rasa Aman
Ketika kebutuhan fisiologis seseorang telah terpenuhi secara layak, kebutuhan akan rasa aman mulai muncul. Keadaan aman, stabilitas, proteksi, dan keteraturan akan menjadi kebutuhan yang meningkat. Jika tidak terpenuhi, maka akan timbul rasa cemas dan takut sehingga dapat menghambat pemenuhan kebutuhan lainnya.
Kebutuhan akan Rasa Kasih Sayang
Ketika seseorang merasa bahwa kedua jenis kebutuhan di atas terpenuhi, maka akan mulai timbul kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki. Hal ini dapat terlihat dalam usaha seseorang untuk mencari dan mendapatkan teman, kekasih, anak, atau bahkan keinginan untuk menjadi bagian dari suatu komunitas tertentu seperti tim sepakbola, klub peminatan, dan seterusnya. Jika tidak terpenuhi, maka perasaan kesepian akan timbul.
Kebutuhan akan Harga Diri
Kemudian, setelah ketiga kebutuhan di atas terpenuhi, akan timbul kebutuhan akan harga diri. Menurut Maslow, terdapat dua jenis, yaitu lower one dan higher one. Lower one berkaitan dengan kebutuhan seperti status, atensi, dan reputasi. Sedangkan higher one berkaitan dengan kebutuhan akan kepercayaan diri, kompetensi, prestasi, kemandirian, dan kebebasan. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka dapat timbul perasaan rendah diri dan inferior.
Kebutuhan akan Aktualisasi Diri
Kebutuhan terakhir menurut hirarki kebutuhan Maslow adalah kebutuhan akan aktualisasi diri. Jenis kebutuhan ini berkaitan erat dengan keinginan untuk mewujudkan dan mengembangkan potensi diri.


2. Carl Ransom Rogers
Carl Ransom Rogers dilahirkan pada 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois dan meninggal dunia di La Jolla, California, pada 4 Februari 1987 sewaktu berumur 85 tahun. Sewaktu remaja, Rogers tidak memiliki banyak teman sehingga menyebabkan ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca.. Ia pernah belajar di bidang agrikultur dan sejarah di University of Wisconsin. Di tempat tersebut Rogers mengikuti berbagai aktivitas, termasuk menjadi delegasi untuk Persidangan Antarabangsa Persekutuan Pelajar Kristian di China. Pada tahun 1924 ia menerima ijazah pertama dalam bidang sejarah dan menikah pada tahun yang sama. Pada tahun 1928 ia memperoleh gelar Master dalam bidang psikologi dari Columbia University dan kemudian memperolehi gelar Ph.D di di bidang klinis dan psikologi pendidikan pada tahun 1931 (dalam http://www.geocities.com/masterptvpsikologi/psikologihumanistik.pdf).

Situs http://www.e-psikologi.com/lain-lain/tokoh.htm#tigabelas menyebutkan bahwa pada tahun 1931 pula Rogers bekerja di Child Study Department of the Society for the prevention of Cruelty to Children (bagian studi tentang anak pada perhimpunan pencegahan kekerasan tehadap anak) di Rochester, NY. Pada masa-masa berikutnya ia sibuk membantu anak-anak bermasalah/nakal dengan menggunakan metode-metode psikologi. Pada tahun 1939, ia menerbitkan satu tulisan berjudul "The Clinical Treatment of the Problem Child", yang membuatnya mendapatkan tawaran sebagai profesor pada fakultas psikologi di Ohio State University. Dan pada tahun 1942, Rogers menjabat sebagai ketua dari American Psychological Society.


Carl Rogers adalah seorang psikolog humanistik yang menekankan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa prasangka (antara klien dan terapis) dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogers menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas terapis hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers, teknik-teknik assessment dan pendapat para terapis bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment kepada klien. Hasil karya Rogers yang paling terkenal dan masih menjadi literatur sampai hari ini adalah metode konseling yang disebut Client-Centered Therapy. Dua buah bukunya yang juga sangat terkenal adalah Client-Centered Therapy(1951) dan On Becoming a Person (1961).
Naisaban (2004) menyebutkan bahwa Rogers dianggap penting tidak hanya sebagai teoretisi tapi juga sebagai praktisi psikoterapi. Konsep mengenai kepribadian dan terapi berkisar pada gagasan dan kepercayaan bahwa predominasi (keunggulan) mendasar diri yang subjektif dan bahwa manusia hidup dalam dunia pribadi dan subjektif. Rogers mengatakan bahwa individu mempunyai seperangkat persepsi yang terorganisir dari dirinya serta hubungannya dengan orang lain. Konsep diri tidak berkeping-keping tetapi suatu “gestalt” dengan suatu pole koheren dan terpadu. Sebagai tambahan pada konsep diri, individu mempunyai Ideal Self, yaitu apa yang diinginkan, cita-cita atau dianggap seharusnya demikian. Rogers memakai ketidaksesuaian antar konsep diri dengan Ideal Self sebagai ukuran ketidakmampuan menyesuaikan diri.

Rogers berpendapat bahwa sering ada ketidaksesuaian antara konsep diri seseorang dengan kenyataan. Orang-orang muda terkena rasa cemas bila konsep dirinya tidak sesuai dengan kenyataan. Bila pengalaman tidak mendukung pandangan seseorang atas dirinya sendiri, maka ia mungkin akan mengerahkan berbagai mekanisme pertahanan diri. Rogers yakin bahwa ada penyesuaian psikologis bila konsep diri ada dalam posisi sedemikian rupa sehingga semua pengalaman organisme membaur ke dalam hubungan yang konsisten dengan konsep diri.

Roges terkenal dengan teori non-directive therapy yang berpusat pada klien (Naisaban, 2004). Teori terapi ini berpusat pada klien atau terapi non-directive, yang dikembangkan selama bertahun-tahun sesudah masa perang, di Universitas Chicago. Teknik ini pada prinsipnya memberikan kesempatan pada individu yang tidak mampu menyesuaikan diri agar mau berbicara kepada seorang konselor, yang mirip dengan cara klien bercakap-cakap dengan pengacaranya, yaitu duduk dan bertatap muka. Terapis berperan seminimal mungkin selama percakapan klinis itu, dan terapis sendiri berusaha mengembangkan satu iklim penerimaan yang hangat dan memungkinkan, sehingga klien merasa bebas untuk berbicara. Dengan bebas berbicara dan mengungkapkan diri, klien akan sampai pada suatu pemahaman diri sendiri Kadang terapis berusaha untuk menjelaskan ungkapan-ungkapan pasien dengan mengulanginya sambil memberi tekanan atau mengubahnya untuk mengemukakan hal-hal yang penting dan berarti, tetapi penafsiran diberikan seminimal mungkin. Dengan berbicara dan mengungkapkan diri, klien itu menyembuhkan diri sendiri. Asumsi bahwa individu dapat sampai pada tahap mengenal diri sendiri ini tumbuh dalam keyakinan Rogers. Ia berkeyakinan juga bahwa penyebab ketidakyakinan klien menyesuaikan diri, karena peran di atas diputarbalikkan, terapis lebih banyak berperan daripada klien.

Rogers sangat percaya dan optimis terhadap sifat alami manusia. Dia yakin bahwa dorongan paling dasar adalah aktualisasi, yaitu memelihara, menegakkan, mempertahankan diri, dan meningkatkan diri sendiri. Dia percaya bahwa dengan memberikan satu kesempatan, individu akan berkembang dalam gerak maju dan punya car-cara untuk menyesuaikan diri. Namun, banyak nilai dan sikap bukan merupakan buah dari pengalaman langsung diri sendiri, akan tetapi merupakan introyeksi dari orang tua, guru, dan teman, dan menyebabkan terjadinya simbolisasi yang menyimpang atau yang diputarbalikkan yang menyebabkan terjadinya intergrasi yang salah atau tidak wajar dalam jati dirinya. Sebagai akibatnya, banyak individu terbelah, tidak bahagia, dan tidak mampu merealisasikan secara penuh potensi-potensinya. Oleh karena itu, proses penyuluhan non-direktif memungkinkan individu bisa menemukan perasaannya yang sejati mengenai kehormatan dirinya yang positif serta kondisi-kondisi harga dirinya (Naisaban, 2004).

IMPLEMENTASI HUMANISTIK

Sosok guru yang humanistik
Ketika dunia dihentak gelombang pergeseran nilai-nilai kehidupan, muncullah gerakan mengembalikan sistim pendidikan ke sebuah setting yang lebih manusiawi. Pendidikan diharapkan memotivasi manusia untuk menjadi dirinya sendiri. Lebih lanjut, pendidikan perlu menghantar seseorang untuk memahami siapa dirinya dan bukannya membentuk manusia sesuai forma yang telah direncanakan. Peserta didik dibiarkan mengenal dan menjadi dirinya sendiri. Ketika dia sudah mengenal dirinya, tentu dia bisa menentukan pilihan dan arah hidupnya. Maka sangat naif jika seorang ayah yang berprofesi sebagai dokter mengharapkan anaknya menjadi dokter, padahal anak tersebut tidak terlalu mahir di bidang eksakta. Atau, seorang ibu yang berprofesi akuntan menginginkan anak-anaknya juga menjadi akuntan, padahal mereka sangat tidak berminat dalam mengelola usaha dan uang.

Begitu pula di sekolah. dalam konteks pendidikan yang humanistik, seorang guru dituntut memiliki hubungan emosional yang positif dengan anak didik. Kehangatan dan kelemahlembutan adalah sikap utama yang perlu ditonjolkan. Daripada menjadi seorang pendikte isi buku di dalam kelas, sebaiknya seorang guru menyajikan materi-materi secara imajinatif serta kreatif dalam memfasilitasi proses pembelajaran. Hal ini dapat dilakukan dengan menjajaki kesan-kesan para siswa akan proses pembelajaran yang difasilitasi oleh guru bersangkutan.
Di samping itu, guru pun perlu menaruh kepercayaan bahwa para murid pun bisa mempelajari bahan-bahan yang telah didiskusikan bersama, memberikan pujian kepada siswa yang berhasil mendapat nilai bagus, serta memotivasi siswa yang agak lamban dalam menyerap pelajaran.

Sistem pembelajaran yang humanistik

Ibarat sebuah kapal, lembaga pendidikan (apa pun visi dan misinya) tentu memiliki arah dan tujuan yang jelas. Di mana-mana menjamur berbagai lembaga pendidikan dengan latar belakang yang beragam jika dilihat dari namanya. Ada yang terkesan nasionalis karena memakai label negeri, ada pula yang terkesan religius karena memasang nama agama di belakangnya, seperti SMAK (Sekolah Menengah Atas Katolik), UII (Universitas Islam Indonesia), dan sebagainya.

Namun demikian, konteks lembaga pendidikan tersebut sebetulnya tidak bisa ditebak hanya dengan membaca kover luarnya saja. Perlu penelitian lebih lanjut, apakah sekolah itu benar-benar mengajarkan nilai-nilai Kristiani karena memakai nama Katolik? Apakah universitas tersebut benar-benar kumpulan orang Muslim karena memakai nama Islam?

Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan itu, secara universal, apa pun nama dan bentuk lembaga pendidikan tersebut, perlu diterapkan beberapa elemen berikut ini : 1. Partisipasi. Dalam dunia pendidikan, partisipasi mampu menghidupkan suasana yang interaktif. Dua belah pihak, guru dan siswa, perlu saling peduli, saling sharing, melakukan negosiasi, dan sama-sama bertanggung jawab atas proses dan output pendidikan. Hal ini penting agar di akhir tahun, ketika terjadi kegagalan studi, maka tidak terjadi saling tuding antara para pihak yang memiliki kepedulian terhadap dunia pendidikan (guru, siswa, orangtua siswa, ahli kurikulum, NGO, dan masyarakat luas). 2. Integrasi. Di sini, perlu ditekankan interaksi, interpenetrasi, serta integrasi pemikiran, perasaan dan tindakan. Membangun manusia yang seutuhnya berarti membangun manusia yang konsisten dalam ketiga hal tersebut.3. Keterkaitan. Bahwa materi yang diajarkan perlu memiliki hubungan yang erat dengan kebutuhan hidup dasar peserta didik serta berpengaruh nyata untuk mereka, baik secara emosional maupun secara intelektual. 4.Transparansi dalam menyampaikan tujuan pembelajaran. Para siswa pun berhak mengetahui bahwa pada akhir pelajaran, mereka harus memahami hal-hal tertentu yang mampu meningkatkan pengetahuan mereka. Dari sini, semakin nyata bahwa siswa perlu tahu ke mana mereka diarahkan dalam sebuah pelajaran. Banyak guru kurang menekankan bagian ini, dan langsung masuk ke "inti" pembahasan, padahal hal ikhwal menjelaskan tujuan adalah termasuk hal "inti" pula. 5. Terakhir, tentu saja tujuan sosial dari pendidikan. Karena pendidikan adalah sebuah sarana menyiapkan manusia untuk untuk berkarya dalam masyarakat, maka pendidikan perlu menekankan penempaan akal dan mental peserta didik, agar mampu menjadi sosok intelektual yang berbudaya.

Membangun sistem pendidikan yang humanistik memang tidak mudah. Namun, karena berkaitan dengan persiapan sumber daya manusia, maka pendidikan yang humanistik sudah merupakan keharusan. Pendidikan yang humanistik memerlukan guru yang profesional, murid yang partisipatif, orangtua yang selalu berdialog dengan guru dan anak didik, serta masyarakat luas yang memiliki kontrol sosial yang ketat terhadap proses pendidikan. *